Sabtu, 20 Desember 2008

PRINSIP DASAR MANEJEMEN POLRI

Berdasarkan studi literatur yang penulis lakukan terhadap sejumlah buku, artikel, makalah, dan sumber-sumber literatur lainnya, maka manajemen kinerja yang baik untuk menuju organisasi berkinerja tinggi, harus mengikuti kaidah-kaidah berikut ini.

1. Terdapat suatu indikator kinerja (key performance indicator) yang terukur secara kuantitatif, serta jelas batas waktu untuk mencapainya. Tentu saja ukuran ini harus menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh organisasi tersebut. Jika pada organisasi bisnis atau komersial, maka indikator kinerjanya adalah berbagai aspek finansial seperti laba, pertumbuhan penjualan, lalu indikator pemasaran seperti jumlah pelanggan, dan sebagainya. Sedangkan pada organisasi pemerintahan seperti POLRI, maka ukuran kinerja tentu berbagai bentuk pelayanan kepada masyarakat (akuntabilitas eksternal atau publik). Semuanya harus terukur secara kuantitatif dan dimengerti oleh berbagai pihak yang terkait, sehingga nanti pada saat evaluasi kita bisa mengetahui, apakah kinerja sudah mencapai target atau belum. Michael Porter, seorang profesor dari Harvard Business School mengungkapkan bahwa kita tidak bisa memanajemeni sesuatu yang tidak dapat kita ukur. Jadi, ukuran kuantitatif itu penting. Organisasi yang tidak memiliki indikator kinerja, biasanya tidak bisa diharapkan mampu mencapai kinerja yang memuaskan para pihak yang berkepentingan (stakeholders).

2. Semua ukuran kinerja tersebut biasanya dituangkan ke dalam suatu bentuk kesepakatan antara atasan dan bawahan yang sering disebut sebagai kontrak kinerja (performance contract). Dengan adanya kontrak kinerja, maka atasan bisa menilai apakah si bawahan sudah mencapai kinerja yang diinginkan atau belum. Kontrak kinerja ini berisikan suatu kesepakatan antara atasan dan bawahan mengenai indikator kinerja yang ingin dicapai, baik sasaran pancapaiannya maupun jangka waktu pencapaiannya. Ada 2 (dua) hal yang perlu dicantumkan dalam kontrak kinerja, yaitu sasaran akhir yang ingin dicapai (lag) serta program kerja untuk mencapainya (lead). Mengapa keduanya dicantumkan ? Supaya pada saat evaluasi nanti berbagai pihak bisa bersikap fair, tidak melihat hasil akhir semata, melainkan juga proses kerjanya. Adakalanya seorang bawahan belum mencapai semua hasil akhir yang ditargetkan, tetapi dia sudah melaksanakan semua program kerja yang sudah digariskan. Tentu saja atasan tetap harus memberikan reward untuk dedikasinya, walaupun sasaran akhir belum tercapai. Ini juga bisa menjadi basis untuk perbaikan di masa yang akan datang (continuous improvements). Prinsip ini bisa diterapkan di seluruh satuan wilayah maupun satuan kerja di POLRI. Tetapi ada syaratnya, indikator kinerja harus didefinisikan terlebih dahulu.

3. Terdapat suatu proses siklus manajemen kinerja yang baku dan dipatuhi untuk dikerjakan bersama, yaitu (1) perencanaan kinerja berupa penetapan indikator kinerja, lengkap dengan berbagai strategi dan program kerja yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang diinginkan, lalu (2) pelaksanaan, di mana organisasi bergerak sesuai dengan rencana yang telah dibuat, jika ada perubahan akibat adanya perkembangan baru, maka lakukanlah perubahan tersebut, dan terakhir (3) evaluasi kinerja, yaitu menganalisis apakah realisasi kinerja sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan dulu ? Semuanya harus serba kuantitatif.

4. Adanya suatu sistem reward dan punishment yang bersifat konstruktif dan konsisten dijalankan. Konsep reward ini tidak melulu bersifat finansial, melainkan juga dalam bentuk lain, seperti promosi, kesempatan pendidikan, dan sebagainya. Reward dan punishment diberikan setelah melihat hasil realisasi kinerja, apakah sesuai dengan indikator kinerja yang telah direncanakan atau belum. Tentu saja ada suatu performance appraisal atau penilaian kinerja terlebih dahulu sebelum reward dan punishment diberikan. Hati-hati dengan pemberian punishment, karena dalam banyak hal, pembinaan jauh lebih bermanfaat.

5. Terdapat suatu mekanisme performance appraisal atau penilaian kinerja yang relatif obyektif, yaitu dengan melibatkan berbagai pihak. Konsep yang sangat terkenal adalah penilaian 360 derajat, di mana penilaian kinerja dilakukan oleh atasan, rekan sekerja, pengguna jasa, serta bawahan. Pada prinsipnya manusia itu berpikir secara subyektif, tetapi berpikir bersama mampu mengubah sikap subyektif itu menjadi sangat mendekati obyektif. Dengan demikian, ternyata berpikir bersama jauh lebih obyektif daripada berpikir sendiri-sendiri. Ini adalah semangat yang ingin dibawa oleh konsep penilaian 360 derajat. Walaupun banyak kritik yang diberikan terhadap konsep ini, tetapi cukup banyak yang menggunakannya di berbagai organisasi. Tetapi dalam penerapannya, organisasi seperti POLRI mesti hati-hati, karena aspek kematangan organisasi (organization maturity) sangat berpengaruh di sini.

6. Terdapat suatu gaya kepemimpinan (leadership style) yang mengarah kepada pembentukan organisasi berkinerja tinggi. Inti dari kepemimpinan seperti ini adalah adanya suatu proses coaching, counseling, dan empowerment kepada para bawahan atau sumber daya manusia di dalam organisasi. Satu aspek lain yang sangat penting dalam gaya kepemimpinan adalah, sikap followership, atau menjadi pengikut. Bayangkan jika semua orang menjadi komandan di dalam organisasi, lantas siapakah yang menjadi pelaksana ? Bukannya kinerja tinggi yang muncul, melainkan kekacauan di dalam organsiasi (chaos). Sejatinya, pada kondisi tertentu seseorang harus memiliki jiwa kepemimpinan, tetapi pada situasi yang lain, dia juga harus memahami bahwa dia juga merupakan bagian dari sebuah sistem organisasi yang lebih besar, yang harus dia ikuti. Harus saya akui, pengalaman saya menunjukkan organisasi seperti TNI dan Polri sudah menerapkan ini lebih baik darpada organisasi sipil. Hanya saja, kerangka konseptualnya saja yang perlu dibenahi, yaitu membawahnya ke organisasi berkinerja tinggi.

7. Menerapkan konsep manajemen SDM berbasis kompetensi. Umumnya organisasi berkinerja tinggi memiliki kamus kompetensi dan menerapkan kompetensi tersebut kepada hal-hal penting, seperti manajemen kinerja, rekruitmen dan seleksi, pendidikan dan pengembangan, dan promosi. Seperti yang diuraikan pada awal makalah ini, kompetensi tersebut setidaknya mencakup 3 (tiga) hal, yaitu kompetensi inti organsiasi, kompetensi perilaku, serta kompetensi teknikal yang spesifik terhadap pekerjaan. Jika kompetensi ini sudah dibakukan di dalam organisasi, maka kegiatan manajemen SDM akan menjadi lebih transparan, dan pimpinan organisasi juga dengan mudah mengetahui kompetensi apa saja yang perlu diperbaiki untuk membawa organisasi menjadi berkinerja tinggi. Nah, kalau yang ini masih menjadi pe-er besar untuk Polri.

PROFESIONALISME POLRI

PROFESIONALISME
KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA (POLRI)
A. Pendahuluan
Sebelum memulai menyoal dan mendiskusikan profesionalisme Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), terlebih dahulu perlu kiranya membentang tali-temali benang sejarah ketika Polri masih menyatu dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Fakta sejarah menunjukkan bahwa penyatuan Polri dan TNI/ABRI bukan merupakan pilihan yang tepat karena pada hakekatnya Polri tidaklah mengemban fungsi destruktif dan ofensif sebagaimana yang TNI/ABRI lakukan.
Akibat pola kerja Polri yang mirip dan bahkan sama dengan TNI/ABRI maka secara institusi pun Polri menjadi institusi yang bersifat militer dimana masyarakat selalu merasa takut kepada polisi apabila tertangkap/ditangkap dan dimasukkan ke rumah tahanan. Hal ini tentunya dapat dipahami bahwa dengan paradigma seperti ini maka sangat dimungkinkan akan terjadi penganiayaan kepada tersangka sebagaimana beberapa kasus-kasus di masa lampau yang pernah terjadi, seperti kasus matinya tersangka Tjetje Tadjuddin, kasus Fuad Syafruddin wartawan Bernas, kasus polisi yang menjadi pemicu dalam kerusuhan di Tasikmalaya dan kasus-kasus serupa lainnya yang merupakan fakta empiris bahwa polisi harus meningkatkan profesionalismenya dalam menunjang penegakkan hukum.
Merujuk pada faka-fakta di atas, gelombang saran dan bahkan protes terus didengungkan agar kiranya Polri dapat segera berbenah diri dalam menghadapi kompleksitas yang hadir disekelilingnya. Akhirnya, momentum bersejarah tersebut tiba, yaitu sejak tanggal 1 April 1999 Polri dan TNI/ABRI secara resmi berpisah dan berdiri sendiri. sebagaimana tertuang dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan seperti: Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1999 tentang Pemisahan Polri dri TNI/ABRI, Tap MPR Nomor VI/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Polri, Tap MPR Nomor VII/2000 Tentang Peran TNI dan Peran Polri, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, dan Kebijakan Strategis Kapolri 2002-2004.
Pemisahan Polri dan TNI/ABRI sebagaimana disebutkan dalam peraturan perundang-undangan di atas disadari sebagai momentum bersejarah yang sangat penting bagi Polri untuk berbuat lebh baik dalam melaksanakan fungsinya secara mandiri (tidak militeristik) dan bebas dari kekuasaan dan politik dari manapun (independen). Momentum sejarah ini dipandang sebagai sebuah awal (starting point) untuk memulai kehidupan masyarakat sipil (civil society) yang pada dasarnya merupakan gambaran utuh polisi sebagai warga sipil yang diberi tugas untuk menegakkan keadilan dan mewujudkan rasa aman masyarakat. Momentum ini juga dipandang sebagai timing yang baik untuk mewujudkan profesionalisme Polri yang selalu dinanti-nantikan, sekaligus bahwa ide peningkatkan profesionalisme Polri ini merupakan penjabaran salah satu agenda reformasi Polri pasca reformasi 1998.
Oleh karena itu, tulisan dalam makalah ini akan lebih menekankan pada kajian dan analisis mengenai profesionalisme Polri dan faktor-faktor yang mempengaruhinya termasuk didalamnya hal-hal yang menyoal kompleksitas masalah kebangsaan dan masalah internasional.
B. Profesionalisme Polri
B.1 Apa Itu Profesionalisme Polisi?
Orang mudah mengatakan profesionalisme tetapi tak tahu ma’rifat dan hakekat profesionalisme. Merujuk pada pengertian dasar saja, profesionalisme sudah membentuk spektrum luas, yang terbaik tentunya adalah berada pada titik equilibrium, keseimbangan ma’rifat dan hakekat.
Dalam Kamus besar bahasa Indonesia, profesionalisme berasal dari kata dasar profesi yang berarti sebagai pekerjaan dengan pendidikan dan keahlian tertentu yang memerlukan kepandaian khusus dengan sistem penggajian terukur.
Dalam praktek, banyak pekerjaan yang sekarang mengklaim dirinya sebagai profesi . Padahal , diuji dan dikaji dengan menggunakan standar profesi, tidak semua pekerjaan boleh disebut profesi dalam artian sesungguhnya. Profesi menuntut penguasaan suatu pengetahuan yang diperoleh melalui pelatihan yang panjang. Menurut Albert J. Reiss Jr, profesi pada dasarnya memiliki karakteristik yang tidak cukup dicerminkan melalui penguasaan pengetahuan, akan tetapi juga dipengaruhi pada hubungan pelaku profesi dan kliennya yang merupakan konsep inti (core conception) suatu profesi. Oleh karena itu, berdasarkan pada hubungan pelaku profesi dan kliennya, Albert J. Reiss mengatakan bahwa berbagai pekerjaan yang benar-benar berkualitas profesi yaitu seperti hukum, dokter, dan polisi. sedangkan yang lainnya hanyalah berupa status.
Jika disimpulkan bahwa polisi merupakan profesi maka profesi polisi tersebut haruslah dilaksanakan secara profesionalisme. Dalam artian bahwa sebagai profesi dibutuhkan upaya pemolisian profesi, karena polisi merupakan suatu pekerjaan yang memiliki status sosial yang tinggi dan bergengsi. Seorang polisi yang profesionalisme digambarkan sebagai seorang ahli yang memiliki pengetahuan khusus dalam suatu bidang tertentu yang dianggap penting dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, profesionalisme bagi Polisi sangat penting untuk ditingkatkan dan dimantapkan dalam rangka mewujudkan harapan masyarakat terhadap sosok-sosok polisi yang ideal.
B.2 Standardisasi Profesionalisme Polisi
Sebelum profesionalisme muncul sebagai standar yang diterima luas, terlebih dahulu akan diuraikan kualifikasi polisi yang menunjukkan betapa pekerjaan polisi banyak berkaitan dengan predeposisi individu para polisi. Coates membedakan 3 (tiga) tipe (kualifikasi) polisi yaitu:
1. The legalistic abusive officer, yaitu mereka yang menyadari perannya sebagai penjaga, pelindung masyarakat serta nilai-nilai masyarakat, dan dengan cepat menggunakan kekuatan dan sangat otoriter;
2. The task officer, yang menjalankan tugasnya tanpa menggunakan nilai-nilainya sendiri dan hanya menjalankan hukum; dan
3. The community service officer, yang tidak menerapkan hukum dan bertindak sebagai penegak hukum, melainkan berusaha membantu masyarakat dan memecahkan persoalan.
Pengkualifikasian polisi sebagaimana diungkapkan oleh Coates, secara perlahan mengalami erosi sehingga dibutuhkan suatu gagasan baru menuju pada profesionalisme polisi yang tentunya menawarkan berbagai manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Gagasan perubahan tersebut timbul akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang cepat. Perkembangan IPTEK yang tak dapat dihindarkan, berimplikasi pada pekerjaan polisi itu sendiri dimana polisi dituntut untuk bersikap profesionalisme dibidangnya (tidak amatir).
Pemanfaatan IPTEK oleh polisi dalam melaksanakan tugasnya, menimbulkan suatu konsekuensi tersendiri bahwa IPTEK menjadi salah satu standar bagi penetapan profesionalisme polisi. Oleh karena itu, standar tersebut mensyaratkan, bahwa:
R Pertama, dibutuhkan latihan, ketrampilan, dan kemampuan khusus;
R Kedua, anggota kepolisian harus mempunyai komitmen terhadap pekerjaannya;
R Ketiga, dalam menjalankan pekerjaannya, polisi membutuhkan suatu tingkat otonomi tertentu.
Penetapan IPTEK sebagai salah satu standardisasi profesionalisme polisi, lebih ditekankan pada kaidah bahwa modus operandi kejahatan semakin beragam sehingga dibutuhkan langkah-langkah pencegahan yang "mumpuni". IPTEK yang terus berkembang pada babakan abad ke-20 dan ke-21 haruslah secara signifikan dapat diselaraskan dengan kaidah-kaidah teoritik dalam ilmu kepolisian dimana konsep pelayan masyarakat juga harus disinkronkan.
Disamping IPTEK, standardisasi profesionelisme polisi dapat dilihat pada tiga parameter sebagaimana yang dikemukan oleh Sullivan, sebagai berikut:
1. Well Motivation, yaitu seorang polisi harus memiliki motivasi yang baik dalam menjalankan tugasnya;
2. Well Education, yaitu seorang polisi harsu memiliki jenjang pendidikan yang baik seperti, Diploma, Sarjana (S1, S2, dan S3);
3. Well Salary, seorang polisi harus lah digaji dengan bayaran yang memadai untuk menunjang pekerjaanya sehingga tidak cenderung untuk korupsi.
B.2.1 Well Motivation
Motivasi menjadi elemen penting yang tidak boleh dikesampingkan. Motivasi yang baik dari seseorang sebelum mengeluti pekerjaanya akan menentukan apa yang akan dilakukan oleh tersebut di masa yang akan datang. Oleh karena itu, seorang polisi haruslah memiliki motivasi untuk mengabdikan dirinya sebagai polisi dengan tantangan dan tugas yang berat. Sebagai polisi, seseorang dituntut kesiapan mental dan fisik baik dalam konteks melayani masyarakat maupun dalam konteks penanganan kerusuhan dan tindakan criminal lainnya.
B.2.2 Well Education
Jenjang pendidikan memainkan peranan yang sangat vital dalam membentuk kualitas seseorang. Idealnya seseorang yang berkualifikasi pendidikan yang baik akan tergambar melalui prilaku orang tersebut. Dalam konteks ini, seorang polisi dituntut untuk dapat memahami modus operandi kejahatan yang terus berkembang dan mengetahui perangkat hukum yang hendak diancamkan kepada penjahatnya (accussed). Untuk melakukannya maka kualifikasi pendidikan sangat dibutuhkan.
B.2.3 Well Salary
Gaji selalu menjadi isu sensitif ketika menuntut suatu hasil yang maksimal. Fakta menunjukkan bahwa gaji polisi masih sangat kecil dibanding dengan penegak hukum lainnya seperti hakim dan jaksa.
Disamping 3 (tiga) hal yang merupakan standardisasi profesionalisme polisi sebagaimana dikemukan oleh Sullivan di atas, Anton Tabah menambahkan 2 (dua) standardisasi lain yaitu well trained dan well equipments.
Well Trained diartikan sebagai seorang polisi harus dibekali dengan pelatihan secara terus menerus melalui proses managerial yang ketat agar pendidikan dan pelatihan yang sinkron mampu menjawab tantangan kepolisian yang actual dan tantangan di masa depan.
Well Equipments diartikan sebagai tersediannya sarana dan prasarana yang cukup bagi institusi kepolisian serta penyediaan sistem dan sarana teknologi kepolisian yang baik agar seorang polisi dapat menjalankan tugas dengan baik.
Penetapan standardisasi profesionalisme polisi sebagaimana disepakati para pakar dan berlaku dalam praktek, telah menjadi acuan bagi penetapan ukuran profesionalisme di hampir seluruh negara-negara di dunia. Amerika Serikat misalnya, menetapkan standardisasi profesionalisme polisinya dengan mengemukan 4 (empat) kriteria seperti pelaksanaan tugas kepolisian secara ilmiah, petugas polisi haruslah terpelajar, mempunyai integritas profesionali, dan pemusatan pelayanan kepolisian dan konsilidasi satuan kepolisian sebagai unsur utama peningkatan efektifitas.
Uraian ke-4 standardisasi profesionalisme polisi di Amerika Serikat pada dasarnya selaras dengan apa yang dikemukan Sullivan dan Anton Tabah, hanya dalam redaksional yang berbeda. Fungsi polisi disini dititikberatkan pada upaya untuk menjalankan kontrol sosial dalam masyarakat baik yang bersifat pre-emtif, preventif, maupun refresif. yang tentunya fungsi ini terwadahi dalam kerangka sistem peradilan pidana (criminal justice system). Oleh karena itu, profesionalisme polisi sebagai penegak hukum diarahkan secara ketat oleh hukum, dimana ia menjalankan perintah undang-undang dan dalam fungsi sebagai penjaga ketertiban, polisi bertanggung jawab pada masyarakat.
B.3 Profesionalisme Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)
Menakar standardisasi profesionalisme Polri tentunya berkiblat pada standardisasi yang sama sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Akan tetapi, penjabaran kriteria-kriteria tersebut tidaklah semudah yang tertulis. bentrok aparat kepolisian dengan mahasiswa di kampus UNAS, insiden kekerasan di Monas yang ditengarai sebagai akibat politik pembiaran dari kepolisian, serta hasil survei persepsi korupsi dari Tranparansi Internasional Indonesia (TII) yang menempatkan Polri sebagai institusi terkorup di Indonesia setelah DPR, Lembaga Peradilan dan Partai Politik adalah fakta yang tidak dapat dielakkan betapa standardisasi profesionalisme Polri masih terus berproses untuk menemukan strategi yang tepat dalam pengimplementasiaannya.
Perumusan strategi pelaksanaan standardisasi profesionalisme Polri yang terus dilakukan Polri, dimaksudkan untuk memenuhi harapan masyarakat yang membutuhkan polisi yang ramah dan lemah lembut dalam pelayanan serta tegas dalam penegakan hukum dapat tercapai. Oleh karena itu, langkah-langkah konkrit terus dilakukan oleh Polri untuk mencapai out-put sebagaimana yang diamanahkan oleh UU Nomor 2 Tahun 2002, termasuk dengan menekankan pada perlunya aspek pembinaan profesi Polri. Ketentuan pembinaan profesi Polri dapat ditemukan pada Pasal 34 UU No.2 Tahun 2002, yaitu:
1) Sikap dan prilaku pejabat Polri terikat pada Kode Etik Profesi Polri.
2) Kode Etik Profesi Polri dapat menjadi pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dilingkungannya.
3) Ketentuan tentang Kode Etik Profesi Polri lebih lanjut diatur dengan Keputusan Kapolri.
Penegasan pembinaan profesi Polri adalah sebuah "sinyal" bahwa Polri terus berbenah terhadap kinerja Polri yang berfluktuasi dalam pencapaian prestasi kerja. Memahami bahwa profesi Polisi harus diselenggarakan professional, tuntutan mendasar yang harus terpenuhi agar profesionalisme Polri dapat terwujud maka dapat dimulai dari proses rekrutmen anggota polisi yang baik (professional), yang kemudiaan anggota polisi tersebut dilengkapi dengan pendidikan dan pelatihan yang memadai serta ditunjang dengan sistem promosi dan analisis jabatan dalam tubuh Polri yang juga baik.
Persoalan rekrutmen anggota Polri disadari merupakan masalah pokok yang harus selalu mendapat perhatian serius dalam melaksanakan profesionalisme Polri. rekrutmen anggota Polri pada dasarnya telah dilakukan analisis jabatan yang berupa syarat administrasi, pendidikan, kesehatan, psikotes, dan berbagai tes lainnya. Akan tetapi dalam proses penentuan kelulusan dan tahap-tahap ujian yang dilalui masih terbuka peluang bagi adanya intervensi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Prilaku oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut dapat disebabkan oleh lemahnya pengawasan yang dilakukan selama proses rekrutmen baik yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang maupun masyarakat. Hal ini mengakibatkan check dan balance dalam konteks melaksanakan fungsi kontrol tidak berjalan optimal.
Disamping faktor pengawasan yang rendah dalam pencapaian profesionalisme Polri, hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk ditekankan dalam optimalisasi profesionalisme Polri yaitu komitmen moral. Menurut Pudi Rahardi, komitmen moral tersebut dapat ditemukan pada perumusan ciri-ciri profesionalisme Polri, sebagai berikut:
Ë Jujur, taat terhadap kewajiban dan senantiasa menghormati hak-hak orang lain.
Ë Tekad dalam jiwanya, setiap amal perbuatan dilandasi oleh niat untuk beribadah dan merupakan pengabdian dirinya kepada dan bagi kepentingan orang lain sebagai bukti adanya kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya.
Ë Memiliki sifat, watak dan akhlak serta kepribadiaan dengan baik yang berlandaskan pada Taqwa dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Ë Amal perbuatannya senantiasa diawali dengan niat dan itikad baik dan untuk mencapai tujuan dilakukan dengan cara yang baik dan benar.
Ë Tidak akan bernat jelek terhadap tugas yang dipercayakan kepadanya, baik yang diamanahkan oleh masyarakat maupun amanah bangsa dan negara sesuai dengan hukum yang berlaku.
Ë Memiliki kebanggaan pada profesinya dengan mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadinya.
Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa komitmen moral memegang peranan penting yang hakekatnya bukan hanya mengikat anggota Polri akan tetapi juga mengikat para pimpinan Polri. Dalam hal ini, pimpinan Polri menetapkan bahwa pejabat Polri harus memenuhi langkah-langkah sebagai berikut:
1) Upaya penertiban setiap pejabat Polri yang mengemban fungsi reserse, dengan cara memberikan tanda pengenal sebagai pejabat penyidik yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian kepada masyarakat bahwa dirinya berhadapan petugas resmi.
2) Penataran pengawasan melekat (waskat) kepada eselon pimpinan di lingkungan Polri dengan tujuan terciptanya mekanisme pengawasan di lingkungan kerjanya.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bawa standardisasi profesionalisme Polri yaitu:
1) Well Motivation;
2) Well Education;
3) Well Salary;
4) Well Trained;
5) Well Equipments;
6) Fungsi Pengawasan; dan
7) Komitmen Moral.
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Profesionalisme Polri
Seusai membingkai standardisasi profesionalisme Polri, hal terpenting yang menarik untuk didiskusikan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi profesionalisme Polri baik yang berasal dari eksternal maupun internal Polri. Faktor-faktor tersebut adalah:
C.1. Integritas Institusi
Lahirnya Tap MPR Nomor VI/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Polri merupakan momentum institusional yang menunjukkan eksistensi Polri sebagai penegak hukum yang mandiri atau otonom. Akan tetapi, 10 tahun pasca pemisahan secara institusional dampak atau pengaruh pengabungan TNI dan Polri masih sangat terasa. Hal ini dapat ditemukan pada proses penanganan kasus-kasus kamtibmas yang dilakukan Polri yang masih cenderung mengadopsi sisi desktrutifitas dalam penegakan hukum dibandingkan mengedepankan fungsi pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat.
Oleh karena itu, secara institusi (birokrasi) Polri harus terus melakukan reorganisasi dalam tubuh Polri mulai dari tingkat markas besar (MABES) hingga tingkat wilayah. Sehingga secara institusi Polri perlahan tapi pasti dapat mensterilkan diri dari bias penggabungan TNI dan Polri yang pernah terjadi di masa lampau. Sebagai langkah nyata komitmen tersebut dapat dilihat pada upaya Polri di bidang instrumental, untuk melakukan penyempurnaan berbagai petunjuk pelaksanaan tugas dan pedoman kerja Polri sampai pada tataran operasional taktik dan teknik profesi kepolisian.
Reformasi institusi Polri tersebut diupayakan akan mempercepat pencapaian profesionalisme Polri, apalagi tuntutan zaman yang mengharuskan Polri dapat mengikuti dinamika masyarakat yang dalam setiap perubahan mengusung tema-tema HAM dan demokrasi. Tentunya, kompleksitas tema-tema HAM dan demokrasi, tidak hanya menjadi urusan lembaga kepolisian dalam konstelasi politik, akan tetapi juga terletak pada strategis penglibatan personil polisi yang bertugas sehari-hari sehingga para personil tersebut sanggup menjabarkan dan mempertanggungjawabkan implementasi HAM dan demokrasi secara rasional, argumentatif, dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Jika disepakati bahwa integritas kelembagaan Polri sangatlah penting untuk mendukung profesionalisme Polri secara organisasi, maka pekerjaan dan organisasi Polri harus berubah menuju pekerjaan yang berbasis pengetahuan (knowledge based works), dan sumber daya manusia (SDM) yang juga turut berubah kearah pekerja yang berpengetahuan (knowledge workers) serta ditunjang dengan tugas pekerjaan yang bersifat inovasi dan perhatian (innovation and caring).
C.2 Netralitas
Profesionalisme Polri harus dapat memberi jawaban terhadap tantangan dan tuntutan masyarakat abad ke-21 yang mendasarkan aktifitasnya pada IPTEK. Sejalan dengan perubahan tersebut, bidang dan atau sektor kehidupan dalam masyarakat juga bergerak menyesuaikan diri secara signifikan baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan lainnya. sehingga out-put pekerjaan yang harapkan berbasis pada rasionalitas dan efisiensi.
Oleh karena itu, merunut sejarah kepolisian bahwa sukses awal dalam rangka menciptakan profesionalisme adalah dengan melepaskan diri dari pengaruh politik dan partisian politik, atau dengan kata lain netral. Netralitas dalam hal ini diartikan sebagai penempatan Polri sebagai pelayan publik bagi semua golongan masyarakat, bukan lagi terkait dengan satu atau lain golongan dalam masyarakat.
Terkait dengan netralitas Polri, ujian telah menanti di tahun 2009 ketika perhelatan Pemilihan Umum (pemilu) digelar. sorotan tajam sekaligus sinis akan kembali dialamatkan pada Polri apakah Polri akan mampu menetralitaskan dirinya atau kemudian sebaliknya. Tentunya disadari bahwa Polri pada hakekatnya adalah institusi penegak hukum dan pelayan publik yang netral, akan tetapi realitas menunjukkan bahwa banyak kendala yang timbul ketika netralitas Polri dari dimensi politik akan diwujudkan khususnya dalam menghadapi daya tahan , tekanan dan intervensi politik kekuasaan.
C.3. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
Tema KKN masih menjadi momok yang menakutkan dalam mengusung profesionalisme Polri. Erlyn Indarti, salah seorang anggota Komisi Kepolisian Nasional, menilai Polri cenderung memosisikan profesional secara mengambang, bahkan lepas dari esensiâ. Ada tiga tugas pokok Polri, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, melakukan penegakan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Sering kali jika penegakan hukum tak jalan, polisi dicap tidak profesional. Demikian pula sebaliknya, polisi sering mengklaim profesional jika dapat menekan laju kejahatan. Erlyn melihat keprofesionalan polisi tidak seperti itu.
Hubungan antara profesionalisme dengan segala komponen utama perpolisian Indonesia merupakan hubungan resiprokal sehingga tidak bisa serta-merta disebutkan jika polisi mampu menekan jumlah kejahatan, mereka pasti profesional sebab ini akan berakibat pada polisi hanya mengejar turunnya angka kejahatan agar dianggap profesional.
Erlyn lebih lanjut menyoroti legitimasi Polri yang merupakan interface untuk bisa melihat benang merah antara profesionalisme Polri dan tiga tugas pokok Polri tersebut. Tuntutan masyarakat kepada Polri sangat tinggi. Masyarakat berharap Polri harus bersih dan bebas KKN. Polri harus dekat dengan masyarakat dan Polri harus punya wibawa.
Kenyataannya, Polri belum terbebas dari KKN dan masih banyak anggota Polri yang tidak dekat dengan masyarakat. Juga cukup banyak anggota Polri yang tidak dihormati, dilempari saat terjadi peristiwa di berbagai daerah. Ini menunjukkan bahwa Polri masih dianggap belum profesional. Polisi dianggap belum memiliki kepakaran atau intelektual dan teoritika yang memadai. Polisi juga belum mendapatkan pendidikan dan pelatihan sesuai harapan. Polri belum menghasilkan anggota yang memiliki legitimasi. Kompetensi polisi belum sepadan dengan tantangan tugas. Dari sisi kode etik dan disiplin, Polri masih dianggap belum berdisiplin dan berpegang pada kode etik kepolisian. Ada banyak fakta yang menunjukkan hal itu.
Sehubungan dengan pernyataan Erlyn, Mabes Polri menyatakan bahwa salah satu kelemahan yang dihadapi dalam mewujudkan profesionalisme Polri dari optik praktek KKN yaitu masih ditemukannya budaya "setor" dari bawahan kepada pimpinan dan prilaku fungli yang banyak dilakukan oleh anggota Polri.
Contoh lain yang dapat dikemukan untuk melihat bahwa praktek KKN masih terjadi di tubuh Polri yaitu sebagaimana dirilis oleh PTIK dan Kemitraan dengan merujuk pada penelitian skripsi seorang mahasiswa PTIK angkatan XXXIX-A, yang menyatakan bahwa praktek KKN terjadi pada satuan organisasi Polri seperti reserse kriminal, intelijen keamanan, samapta, lalu-lintas, personil, dan logistik.
Fakta-fakta di atas, tentunya, merupakan realitas yang tidak dapat dielakkan. Tetapi yang terpenting bahwa bagaimana budaya KKN ini secara perlahan dieliminasi dan kemudian ditiadakan sehingga ide profesionalisme Polri dapat sesegera mungkin tercapai.
C.4 Pengaruh Internasional
Perkembangan masyarakat internasional yang berkembang begitu pesat, mengharuskan Polri tanggap melihat dan mengikuti perkembangan tersebut. Beberapa agenda internasional seperti isu-isu demokrasi, lingkungan hidup, HAM, kejahatan computer, dan terrorisme menjadi sesuatu (pengetahuan) yang harus diketahui oleh Polri dalam menunjang tugas kesehariannya khususnya ketika menanggani kasus-kasus demokrasi, lingkungan hidup, HAM, dan terrorisme.
Oleh karena itu, penerapan dan pelaksanaan mekanisme pelaksanaan tugas Polri harus segera diselaraskan dengan baik dan benar dalam rangka untuk memperoleh legitimasi baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Contoh profesionalisme Polri yang baik untuk dikutip pada kesempatan ini adalah penanganan teorisme di Indonesia yang menggunakan sains dan teknologi (Scientific crime investigation) rumit untuk mengungkapnya, seperti pengungkapan Bom Bali yang goncang dunia Oktober 2002 dengan teknologi re-exting, pengungkapan bom Marriot Agustus 2004 dengan DVI (Disaster Victims Identi vication). Pengungkapan bom Kedubes Australia 9 September 2004 dengan kombinasi keduanya. Demikian pula kasus bom lainnya yang menggunakan teknologi komunikasi super canggih untuk menditeksi keberadaan tersangka sehingga Polri berhasil menangkap pelaku-pelaku penting, membongkar.
Contoh penerapan dan pelaksanaan mekanisme tugas Polri yang jelas sebagaimana terungkap pada kasus-kasus bom, haruslah dapat digunakan (applied) diseluruh lapisan kamtibmas.
D. Strategi Memantapkan Profesionalisme Polri
Seusai mengurai dan menganalisis standardisasi profesionalisme Polri dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka dibagian akhir tulisan ini akan menawarkan strategi yang dibutuhkan dalam mengokohkan standardisasi profesionalsime Polri yang telah ditetapkan.
Beberapa strategi yang digunakan yaitu dengan melakukan pergeseran paradigma Polri menuju kultur polisi sipil. Paradigma kultur polisi sipil ditetapkan dengan menggunakan indikator sebagai berikut:
¤ Transparansi, bahwa semua kinerja Polri bersifat open manajemen dan dapat dilakukan audit baik oleh masyarakat maupun oleh lembaga independent dan profesionalisme lainnya.
¤ Akuntabilitas, bahwa dalam setiap pelaksanaan tugas dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
¤ Demokratis, bahwa segala bentuk tugas kepolisian mencerminkan pemahaman yang mendalam atas nilai-nilai demokratis.
¤ Memiliki komitmen untuk mewujudkan supremasi hukum.
¤ Menjunjung tinggi HAM.
¤ Bersifat protagonist, bahwa setiap tindakan yang dilakukan berorientasi kepada kepentingan masyarakat.
¤ bersifat responsif, adil, tidak diskriminatif,dan profesionalisme modern.
Oleh karena itu, jika paradigma kultur polisi sipil itu dapat terwujud maka profesionalisme Polri akan berujung pada lahirnya sikap dan prilaku polisi sipil sebagai pelayan masyarakat yang transparan, tidak diskriminnatif dan menjunjung tinggi standar pelayanan prima.
Tentunya, disadari bahwa perubahan paradigma Polri ini akan membutuhkan waktu dalam pengimplementasiaan. Mind-set Polri sebagai the strong hand of society yang telah tertanam kokoh selama ini harus diubah menuju the soft hand of society
The soft hand of society mengedepankan program kemitraan antara Polri dan masyarakat. Dalam konteks ini, Polri dan rakyat berada dalam level yang sama dan berhubungan secara horizontal, dimana Polri mengemban tugas untuk mengayomi, melindungi, membimbing, dan melayani masyarakat. Sehingga, jika kaidah the soft hand of society dapat diwujudkan maka sorotan tajam terhadap kinerja Polri yang selama ini ditujukan ke institusi Polri akan tereliminasi dengan sendirinya.
E. Penutup
Perubahan paradigma Polri menuju polisi sipil yang profesionalis, modern dan demokratis adalah sesuatu kebutuhan yang harus segera dipenuhi oleh Polri dalam rangka mewujudkan fungsi penegakan hukum dan pelayanan masyarakat. Oleh karena itu, profesionalisme Polri diarahkan melalui pendekatan multi-dimensional dalam meningkatkan kualitas personil Polri dengan menekankan pada well motivation; well education; well salary; well trained; well equipments; fungsi pengawasan; dan komitmen moral.
F. Daftar Pustaka
Buku-buku
Agung Suprananto, 2005, Reformasi Manajemen Keuangan Polri, LPEM – FEUI, Jakarta.
Albert J. Reiss Jr., 1971, The Police and The Public, chapter II.
Anton Tabah, 2001, Membangun Polri yang Kuat, Mitra Hardasuma, Jakarta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I., 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Franz Magnus Suseno, 2003, Mencari Makna Kebangsaan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Pudi Rahardi, 2007, Hukum Kepolisian: Profeionalisme dan Reformasi Polri, Laksbang Mediatam, Jakarta.
Satjipto Rahardjo, 2007, Membangun Polisi Sipil: Perspektif Hukum, Sosial dan Kemasyarakatan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Jurnal dan Internet
Adrianus Meliala, Tetap Menyalakan Reformasi Polisis, Jurnal Polisi Indonesia Nomor 4 Tahun 2002.
Anton Tabah, Profesionalisme Polri di Era Reformasi Dalam Isu-isu Keamanan Domestik Melawan Terorisme, Simposium 10 Tahun Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia, Jakarta, 28 Mei 2008.
Armin, Netralitas Politik dan Profesionalisme Polri Dalam Menjalankan Tugas Negara, Jurnal Studi Kepolisian Edisi 062 Oktober-Desember 2004.
Benny Jazua Mamoto, Laporan Akhir Seminar Dalam Rangka Sewindu Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, Jakarta, 2 September 2004.
Kastorius Sinaga, Membangun Profesionalisme Polri, F:\INILAH_COM - Membangun Profesionalisme Polri.htm, posted 14/07/2008 08:01, akses 20/11/2008, 20.30.

Kompas, 10 Tahun Reformasi Polri: Perlu Perubahan Mendasar Mental dan Moral, F:\10 Tahun Reformasi Polri Perlu Perubahan Mendasar Mental dan Moral - Reformasi Polri memasuki tahun kesepuluh_ IDSPS, Institute for Defense Security and Peace Studies Polri, Dan, Yang, Masyarakat.htm, posted 15 Agustus 2008, akses 21 Nopember 2008.
Mabes Polri, Strategi Pemantapan Profesionalisme Polri Dalam Rangka Mewujudkan Keamanan Indonesia Tahun 2015, Lembang, 15 Maret 2007.
PTIK dan Kemitraan partnership, Jakarta, Desember 2004..
Pudjianto Hadi, Sambutan mewakili Gubernur PTIK dalam Sewindu Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia.
Sidratahta Mukhtar, Netralitas Polisi dalam Politik, Jurnal Ilmu Kepolisian Edisi 062 Oktober-Desember 2004..
Zudan Arif Fakrullah, Pemolisian Dalam Masyarakat Transisi, Jurnal Pro Justitia, Nomor 3 Juli 2004.

Jumat, 12 Desember 2008

mutasi pamen di lingkungan polda NTT

  1. AKBP ABDUL SYUKUR KAPOLRES TIMOR TENGAH POLDA NTT dalam jabatan baru sebagai KA SPN KUPANG POLDA NTT.
  2. KOMBES POL.DRS. ALFONS LOEMAU.MSI KARO BINAMITRA POLDA NTT dalam jabatan baru sebagai PAMEN POLDA NTT ( dalam rangka pensiun ).
  3. KOMBES POL. AGUS NUGROHO. SH DIR NARKOBA POLDA NTT dalam jabatan baru sebagai KARO BINAMITRA POLDA NTT.
  4. AKBP DRS. HARIONO WADIR RESKRIM POLDA JATENG dalam jabatan baru sebagai DIR NARKOBA POLDA NTT.
  5. AKBP Drs MARSUDI WAHYUONO KAPOLRESTA KUPANG POLDA NTT jabatan baru sebagai WAKA POLWIL KEDIRI POLDA JATIM.
  6. AKBP Drs HERI SULISTIANTO KAPOLRES SUMBA BARAT POLDA NTT jabatan baru sebagai KAPOLRESTA KUPANG POLDA NTT.
  7. AKBP YAYAT JATNIKAKABAG RENDALPRO RORENBANG POLDA NTT jabatan baru sebagai KAPOLRES SUMBA BARAT POLDA NTT.
  8. KOMBES POL Drs AGUS BARTHOLOMEUS SMIK KARO OPS POLDA NTT jabatan baru sebagai PAMEN POLDA JABAR ( dalam rangka pensiun ).
  9. KOMBES POL Drs ABDURROCHIM DIR INTELKAM POLDA NTT jabatan baru sebagai KARO OPS POLDA NTT.
  10. AKBP Drs FARUK KASUBBAG PRODSUS BAG PRODUK ROANALIS BAINTELKAM POLRI jabatan baru sebagai DIR INTELKAM POLDA NTT.
  11. AKBP ADI WIBOWO.SH KABAG BINDIKLAT ROPERS POLDA NTT dalam jabatan baru sebagai KAPOLRES TIMOR TENGAH UTARA POLDA NTT.
  12. AKBP SENTOSA GINTING KAPOLRESMANGGARAI POLDA NTT SBG KANIT BANOPS DENSUS 88 AT BARESKRIM POLRI
  13. AKBP HAMBALI KABD BINKUM POLDANTT SBG KAPOLRES MANGGARAI POLDA NTT
  14. AKBP RAJA SINAMBELA KASAT I DITINTELKAM POLDA NTT SBG KABID BINKUM POLDA NTT
  15. AKBP LAURENS EDWARD HELLOKAPOLRES MANGGARAI BARAT POLDA NTT SBG PAMEN POLDA NTT
  16. AKBP H SAMSURI KABAG BINJAHROPERS POLDA NTT SBG KAPOLRES MANGGARAI BARAT POLDA NTT

ULTAH BRIMOB KE 63

TEGAS TETAPI TIDAK AROGAN DENGAN WAJAH HUMANIS, KAPOLRI
Jum'at, 14 Nop 2008

brimob_bambang.jpg

BRIMOB : TEGAS TAPI TIDAK AROGAN DENGAN WAJAH HUMANIS, KAPOLRI


Kapolri Jenderal Pol. DRS. BAMBANG HENDARSO mengatakan, Ultah Brimob Ke.63 hendaknya dijadikan sarana berintrospeksi dan mengevaluasi diri untuk memperbaiki berbagai kekurangan dan kelemahan yang selama ini terjadi, serta meningkatkan prestasi yang telah dicapai, sehingga kedepan Brimob akan dapat menampilkan eksistensinya sebagai satuan pamungkas Polri dalam mendukung tugas Polri memelihara kamtibmas, melindungi dan melayani masyarakat serta menegakan hukum demi terwujudnya keamanan dalam negeri.

Oleh karena itu tema peringatan Ulang Tahun Korps Brimob Polri tahun ini hendaknya dijadikan momentum bagi pengembangan dan pembangunan Brimob Polri dalam menjawab tantangan tugas kedepan yang semakin kompleks.

Dalam catatan sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, Brimob Polri telah memberikan kontribusi yang cukup penting dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Semangat dan sikap patriotik para senior Brimob yang rela mengorbankan jiwa raga, demi tegaknya kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengharumkan nama Brimob Polri pada masa itu, sehingga mendapatkan anugerah � NUGRAHA CAKANTI YANA UTAMA� dari Presiden pertama Republik Indonesia. Kita yang saat ini berdiri tegak disini harus berkaca diri, apakah kita mampu berbuat seperti yang telah dilakukan para senior pendahulu kita. Ini adalah tantangan yang harus kita jawab dan kita buktikan dalam pelaksanaan tugas Brimob kedepan.

Kita sadari bersama bahwa tantangan tugas Polri kedepan akan semakin berat karena dihadapkan pada berbagai gangguan kamtibmas yang terjadi sebagai dampak dari perkembangan kehidupan masyarakat, Bangsa dan Negara. Konflik horizontal dalam masyarakat maupun konflik vertikal yang mengarah pada gerakan separatisme, kejahatan terorisme serta berbagai bentuk kejahatan lain yang mengancam keselamatan masyarakat dan merugikan kekayaan Negara harus dapat ditangani secara komprehensif dan professional. Oleh karena itu kekuatan dan kemampuan dalam penanganan berbagai bentuk kejahatan yang berintensitas tinggi secara efektif dan efisien

Saat ini Brimob Polri telah dikembangkan baik dari aspek kekuatan maupun kemampuannya, untuk memenuhi tuntutan tugas yang semakin berat dan kompleks. Kekuatan Brimob yang jumlahnya 33.345 ( tiga puluh tiga ribu tigaratus empat puluh lima ) orang, tergelar diseluruh wilayah Indonesia yang telah memiliki kemampuan PHH, RESMOB, WAN TEROR, S.A.R, dan PENJINAK BOM serta K.B.R ( kimia bilogi dan radioaktif ) yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana pendukung yang memadai. Dengan kekuatan dan kemampuan yang dimiliki tersebut diharapkan Brimob harus lebih mampu menjalankan tugasnya dengan baik dalam memberikan perlindungan, pengayoman, kepada masyarakat serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Banyak prestasi yang telah diukir Brimob dalam melaksanakan tugas operasi baik dalam operasi penegakan hukum, bantuan kemanusiaan, maupun bentuk operasi lainnya dan cukup banyak resiko dan pengorbanan yang dialami oleh anggota Brimob dalam menjalankan tugas tersebut. Oleh karena itupada kesempatan ini saya menyampaikan penghargaan dan simpati serta terimakasih kepada seluruh anggota Brimob yang telah melaksanakan tugas dengan baik dan secara khusus kepada keluarga anggota Brimob yang gugur dalam medan tugas atas pengabdian yang telah diberikan selama ini.

Ditambahkan pula oleh Kapolri, kembanggaan Korps dan kebanggaan atas prestasi keberhasilan tugas memang harus selalu dipupuk, tetapi kebanggan tersebut tidak boleh membuat kita menjadi sombong dan arogan, justru kebanggaan tersebut harus dijadikan sebagai pendorong semangat kita untuk terus berjuang menegakan panji � panji Bhayangkara dalam mewujudkan keadilan dan menjaga kutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ditandaskan pula oleh Kapolri, Grand Strategi Polri telah menggariskan secara bertahap arah pembangunan Polri kedepan yang harus dapat diwujudkan oleh seluruh personil kepolisian. Kebijakan akselerasi tranformasi Polri yang dititik beratkan pada perubahan perilaku setiap anggota Polri dimaksudkan untuk mempercepat pencapaian Gran Strategi Polri. Brimob sebagai unsur penting kepolisian diharapkan bersikap responsive dan dapat menjadi pelopor dalam perubahan kultur ini, yang dapat diwujudkan dalam sikap dan perilaku pada setiap pelaksanaan tugas maupun dalam kehidupan sehari � hari.

Kapolri menambahkan, Tantangan tugas kedepan yang akan segera kita hadapi adalah pengamanan Pemilu 2009 dan pengaman Pilkada di beberapa wilayah di Indonesia. Kepercayaan yang diberikan oleh Negara kepad Polri harus kita jawab dengan mewujudkan rasa aman bagi seluruh rakyat yang mampunyai hak pilih, sehingga dapat digunakan hak demokrasinya dengan aman, bebas dan rahasia.

Dalam rangka pencapaian tujuan tersebut Polri tidak dapat berjalan sendiri, tetapi harus bersinegi dengan segenap komponen masyarakat lainnya dengan mengedepankan paradigma �saling bekerja sama, saling mendukung dan saling memberdayakan� Oleh karena itu pada kesempatan ini saya perintahkan kepada seluruh jajaran Polri dan khususnya kepada jajaran Brimob untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan kekuatan TNI maupun unsure pemerintah lainnya. Hingga sikap egosentris dan arogan yang menapilkan kesombongan serta merasa paling hebat.

Tampilkan sikap dan wajah Polri yang �tegas dan humanis�, wajah tegas tidak berarti arogan atau mau menang sendiri, tetapi harus tampil semakin kuat dan kokoh dalam memberantas dan menanggulangi para pelanggar hukum. Tegas dalam arti tanpa kompromi dan tidak terpengarus oleh berbagai godaan yang melanggar hukum dan sumpahnya. Pada sisi lain �wajah humanis� yang berarti bersikap melindungi dan melayani serta berorientasi pada prestasi, dan bermoral humanis dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Kapolri menyadari bahawa cukup berat untuk dapat mewujudkan cita �cita tersebut, diperlukan kemauan kuat untuk berkorban dan meninggalkan hal � hal negatif yang selama ini dilakukan. Disisi lain aspek kesejahteraan bagi seluruh personil Kepolisian masih perlu ditingkatkan, tetapi hal ini tidak bisa kita jadikan alasan pemaaf untuk tidak berubah. Mau tidak mau, suka tidak suka, saat ini kita harus melakukan perubahan menuju arah yang lebih baik lagi. Oleh karena itu, pada kesempatan yang baik ini saya mengajak kepada seluruh jajaran kepolisian dan khususnya anggota korps Brimob Polri untuk ditegaskan :

1. selalu meningkatkan profesionalitas dan disiplin pribadi dalam setiap pelaksanaan tugas, dengan mengedepankan sikap etis dan humanis namun tegas.
2. hindari tindakan kekerasan dalam setiap pelaksanaan tugas serta senantiasa menjunjung tinggi hak asasi manusia.
3. jalin kerjasama dan hubungn yang harmonis dengan TNI dan segenap komponen masyarakat lainnya baik dalam melaksanakan tugas maupun dalam kehidupan sehari � hari.
4. berikan pelayanan yang terbaik kepada seluruh warga masyarakat, dan
5. pegang teguh komitmen terhadap organisasi, untuk membuktikan bahwa Polri mampu menjalankan peranannya sebagai Bhayangkara sejati.

SAT BRIMOBDA NTT

SATUAN BRIMOB POLDA NTT

Letakgeografis Propinsi Nusa Tenggara Timur merupakan daerah kepulauan yangterdiri dari pulau besar dan kecil dengan jumlah 452 pulau, dan jumlahpenduduk 3.268.644 jiwa serta dengan luas daerah 47.349,4 M3

Sejarah Satuan Brimob Polda NTT

SatBrimob Polda NTT berdiri pada tahun 1997, bersamaan dengan validasiPolwil Kupang menjadi Polda Nusa Tenggara Timur. Sesuai dengan type B1,maka DSP Satbrimob Polda NTT 787 orang, yang mana sebelumnya hanyaKompi 5124 Polda Nusra yang dipimpin oleh Iptu Geradus Bata Besu denganDSP kompi 160 orang.
Dengan terbentuknya Satbrimob Polda NTT, makasecara bertahap dibentuk kompi jajaran Satbrimob Polda NTT yangtersebar sebagai berikut:

- Kompi A terletak di Kab Belu Atambua dengan jumlah personil 165 orang.
- Kompi B Peleton 1 dan 2 terletak di Kab. Maumere Sikka dengan jumlahpersonilnya 80 orang, sedangkan peleton 3 dan 4 terletak di Kab Endedengan jumlah personilnya 60 orang.
- Kompi C terletak di Kab Manggarai dengan jumlah personil 70 orang.
- Kompi D Peleton 1 dan 2 terletak di Kab Sumba Timur dengan jumlahpersonil 60 orang, sedangkan peleton 3 dan 4 terletak di Kab. SumbaBarat dengan jumlah personil 60 orang.
- Kompi E terletak di Kupang bergabung dengan Sat Brimob Polda NTT dan Unit Gegana.

Padamasanya Kompi 5124 Kupang pernah melaksanakan beberapa operasikepolisian baik di dalam wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur maupun diBKO Polda lain antara lain :
- Tahun 1993-1994, Operasi Tatoli yang dipimpin oleh Lettu Pol Handano Warih.
- Tahun 1994-1995, Operasi Tatoli li dipimpin oleh Lettu Taufan Wijaya.
- Tahun 1994-1995, Operasi Tatoli Hi dipimpin oleh IPTU Hamdani
- Tahun 1992, Operasi Satametik dipimpin oleh Mayor Jeky Uli.
- Tahun 1996, Operasi Tuntas dipimpin oleh Mayor Joko Purbo.
- Tahun 1998-1999, dipimpin oleh Mayor Drs. Bimo Heru Dhahono.
- Tahun 1975-1976, Operasi Kikis. Tahun 1996, Operasi Komando.

Sedangkan pada saat terbentuknya Sat Brimob Polda NTT beberapa kali rnelaksanakan tugas Operasi BKO Polda lain, antara lain :

- Tahun 2002 Operasi Mutiara Ambon V dipimpin oleh Kapten Stef Djawa Botha.
- Tahun 2002-2003 Operasi Mutiara Ambon VI dipimpin oleh Lettu Markus Mbolu.
Tahun 2003 Operasi Mutiara Ambon VII dipimpin oleh Lettu Gunawan.
Tahun 2003-2004 Operasi Mutiara Ambon VIII dipimpin oleh Kapten Budi Kleden.
- Tahun 2004 Operasi Mutiara Ambon IX dipimpin oleh Kapten Beridyahsah, SH.
- Tahun 2004-2005 Operasi Mutiara Ambon X dipimpin oleh Kapten Hendrik Daeng.
- Tahun 2003 Operasi Tegak Rencong-2003 dipimpin oleh Kapten JB. Toen Kosad.

Disamping dalam tugas operasi Back Up Polda lain, Sat Brimob Polda NTTjuga siap setiap saat guna mem-back up kewilayahannya sendiri dalam halmenjaga Kamtibmas wilayah Polda NTT. Namun yang perlu menjadiperhatian, dimana tingkat kerawanan dan daerah yang berupa kepulauanakan tetapi perlengkapan dan peralatan yang dimilikuoleh Sat BrimobPolda NTT sangatlah minim belum sesuai dengan standar, terutamaperalatan untuk kompi jajaran, seperti ranmor, peralatan PHH, sertaasrama dan usianya sudah tidak layak pakai lagi mengingat peralatantersebut merupakan hibah dari Timor Timur.

Pelaksanaan Tugas Back Up Kewilayahan

Dalampelaksanaan tugas back up kewilayahan, Sat Brimob Polda NTT selaludilibatkan dalam pengamanan balk itu Back Up Polda NTT maupun Back UpPolres jajaran Polda NTT antara lain : Back Up Polres Belu dalampengamanan pasca eksekusi Tibo Cs sebanyak 2 SSK . Back Up Polres Sikkadalam pengamanan pasca eksekusi Tibo Cs sebanyak 1 SSK.

- Back Up Polres Alor dalam rangka pengamanan Kamtibmas.
- BKO Polda NTT dalam pengamanan Pilkada sebanyak 1 SSK.
- Back Up Polresta Kupang dalam pengamanan Operasi Kewilayahan.
- BKO Polda NTT dalam Operasi Jaring Turangga 2008.
Back Up Polres Jajaran Polda NTT dalam pengamanan Pilkada.
- Back Up Polresta Kupang dalam penanganan bahan peledak. Back Up Polres Kupang dalam pengamanan bahan peledak.
- Back Up Polres Belu dalam rangka Pentahbisan Uskup seluruh Indonesia sebanyak 1 SSK.
Pejabat yang Pernah Memimpin Sat Brimob NTT

Sejakterbentuknya Sat Brimob Polda NTT, para pejabat yang pernah memimpinselaku Kepala Satuan Brimob Polda NTT adalah sebagai berikut:

1. Tahun 1997 - 1998, dijabat oleh Kompol Drs. Budi Astono
2. Tahun 1998 -1999, dijabat oleh Kompol Drs. Bimo Heru Dahono
3. Tahun 1999 - 2001, dijabat oleh AKBP Drs. Bagus Wahyono
4. Tahun 2001 - 2002, dijabat oleh kompol Drs. Abdul Rahman Baso
5. Tahun 2002 - 2003, dijabat oleh Kompol Drs. Rudi Kristiantyo, M.Si
6. Tahun 2005 - 2006, dijabat oleh Kompol Drs. Kamarudin, M.Si
7. Tahun 2006 - Sekarang, dijabat oleh AKBP Ajuk Wibowo, S.Ik

Penanganan Bencana Alam

brimob_NTT_1.jpg
SatBrimob Polda NTT ikut berperan aktif dalam penanggulangan bencana alammengingat Nusa Tenggara Timur terdiri dari pulau-pulau serta perbukitanyang rentan terhadap longsor.

Untuk penanganan bencana alamtanah longsor, Sat Brimob Polda NTT mengirimkan anggotanya dalamkegiatan pencarian korban tanah longsor di Kab Ruteng - Manggaraisebanyak 2 SST dari Kompi C Manggarai. Pencarian korban tanah longsordilaksanakan selama 2 minggu bersama-sama dengan Polres Manggarai,Kodim Manggarai serta masyarakat setempat.

Selain pengirimananggota, Kasat Brimob Polda NTT serta rombongan pejabat teras Polda NTTdan Kapolres Manggarai turut serta dalam pencarian korban tanahlongsor. Dan dalam penanganan bencana tanah longsor di Kab AAanggaraitersebut, anggota Sat Brimob Polda NTT hanya menggunakan peralatanseadanya seperti cangkul, linggis, skop karena peralatan SAR yangdimiliki Sat Brimob Polda NTT sangatlah minim serta lokasi longsorsangat sulit untuk dilalui.

Prestasi Sat Brimob Polda NTT brimob_NTT_2.jpg

Dalambidang olah raga bola volly, Sat Brimob Polda NTT selalu mendapatprestasi yang memuaskan. Prestasi yang pernah diraih anggota Sat BrimobPolda NTT pada kejuaraan bola volly antara lain juara 1 Menpora Cuptahun 2007, juara 1 Helong Cup 2007, juara 1 Hut Bhayangkara ke-63Tahun 2008, juara 1 Fatuleu Cup 2007, juara 1 Hut Rl ke-63 Tahun 2008,Juara 1 Anugrah Cup Tahun 2008, Juara 2 Mutis Cup Tahun 2008, juara 1Gudang Garam Cup Tahun 2007 dan Juara 1 Kapolresta Cup Tahun 2008.
Dibidang olah raga Kempo, Sat Brimob Polda NTT mendapat prestasi yangmemuaskan. Prestasi yang pernah diraih anggota Sat Brimob Polda NTTpada kejuaraan Kempo antara lain : Medaii Emas Perorangan Bupati CupTahun 2007, Medaii Perak Kejurnas Kempo 2007, Medaii Emas Pra PON danMedaii Emas antar Kabupaten se-NTT Tahun 2008.

Tugas Pengamanan Perbatasan Antar Negara Indonesia - Timor Leste

Denganberpisahnya Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia makadengan sendirinya adanya daerah perbatasan antara Negara Indonesiadengan Negara Timor Leste. Sat Brimob Polda NTT bersama-sama denganunsur terkait turut serta melaksanakan pengamanan di daerah perbatasan.Daiam Pelaksanaan Pengamanan Sat Brimob Polda NTT memback up Polres TTUdan Polres Belu dengan melibatkan 120 orang yang terbagi atas 60 Orangdi Kab. Belu dan 60 Orang di Kab. TTU.

Pos-pos dalam wilayahhukum Polres Belu adalah : Pos Mutaain, Pos Laktutus, Pos Oemasa, PosTuriskain, Pos Ailala dan Pos Builalu. Sedangkan dalam wilayah hukumPolres TTU adalah : Pos Napan, Pos Wini, Pos Aplal, Pos Oemeniana, PosManamas dan Pos Kefa / Kotis.

Pos-pos Pamtas tersebut terdiridari 10 Personil yang dilengkapi dengan Senpi serta PerlengkapanPerorangan. Untuk bangunan Pos masih bergabung dengan Pospol, saranadan prasana yang ada di Pos Perbatasan sangatlah minim dan masih banyakPos yang belum ada Listrik, MCK serta air bersih, dimana untukmendapatkannya harus menempuh jarak 1 km. ( dikutip dari majalah TERATAI edisi khusus november 2008 )


Rabu, 26 November 2008

LATIHAN KEMAMPUAN DASAR BRIMOB


Pada tanggal 25 nopember di mako sat brimobda NTT menyelenggaakan latihan rutin yaitu latihan kemampuan dasar brimob.pada hari pertama anggota brimob berlatih grilya anti grilya(GAG) ada beberapa latihan GAG yang di simulasikan mulai dari serangan dari arah depan,belakang,kiri,kanan pertempuran jarak dekat(PJD),pertempuran perjumpaan(purpa).dalam latihan tersebut di pimpn langsung oleh Kasat bimobda NTT AKBP.ajuk wibowo S.ik.kasat mengatakan latihan ini untuk mengasah kemampuan personil supaya lebih mahir dalam menghadapi tugas ke depan.

Sabtu, 15 November 2008

DETASEMEN E KBR

Rekan rekan mungkin masih belum familiar mendengar istilah KBR. merupakan singkatan dari Kimia biologi radioaktif. di era kemajuan teknologi yang semakin canggih sekarang ini juga meningkatkan kemampuan teroris untuk mengembangkan senjata2 pemusnah massal ,salah satunya yaitu bahan bahan berbahaya KBR. oleh karna itu untuk mengantisipasi ancaman ini ,polri membentuk unit KBR yang mempunyai tugas utama sebagai first responder terhadap kejadian kejadian yang berhubungan dengan bahan bahan berbahaya KBR ini. Buku pedoman pelaksanaan bagi unit KBR ini sudah selesai di buat dimana didalam buku tersebut menetapkan bahwa unit KBR secara struktural berada di dalam Satuan I Gegana Brimob Polri yang bermarkas di mako korbrimob di Kelapadua Depok yang di wadahi di dalam satu detasemen yaitu Detasemen E /KBR.